Sabtu, 04 September 2010

Biarkan Malam

Biarkan Malam


kado kecil buat DN


Lembut punggung tanganmu menghangat di bibirku
Gairah kata menari-nari di balik sinar mata rindu
Waktu bergerak menabur kata-kata
Kita sibuk menangkap cinta!

Kalau genggaman hari bertemu dalam sentuhan jemari-jemari kita
Barangkali ada sepi yang terbakar cinta
Kemudian pada setiap senja kita membuka diri
Siapa tahu hati kembali terisi!

Walau minggu sudah lama berlalu
Bulan tak pernah mau bertahan
Dan tahun demi tahun akan menjadi embun
Dan menguap pada sinar mentari pertama
Aku masih menyebut-nyebut namamu
Entah sampai kapan
Dalam hati,semakin lama semakin menimbun
Ya, aku jatuh cinta!

Biarlah malam datang sendiri
Kita rasakan kembali:
Begini cinta berseri!

Jakarta, Juni 2002

Rabu, 28 Juli 2010

Mengenang Ayahanda

Sutan Iwan Soekri Munaf

Mengenang Ayahanda


Terpisah. Kembali jarak memadu resah
Sementara rindu berpacu. Aku pun ragu. Setelah waktu berjalan sudah. Aku lelah mencari kata tanpa bertemu.
Beku dalam windu demi windu suaramu membakar setiap jengkal dada tiada kalimat yang dapat merapat. Hati
terjerat Ayahanda. Aku ingin sekali mendekat
Kembali jarak dikuak. Barangkali angin sampirkan pesan tentang ragu yang terbentang. Barangkali jalan semakin
lapang Semakin lelah. Semakin lelah. Semua menjadi bimbang dan darah beku menggumpal-gumpal. Semua tinggal
impian Ayahanda. Aku di sini masih mengurai seribu cerita dan membaca sejuta makna dalam katamu saat menyisi...
Jakarta, September 1996

Sebab

Sutan Iwan Soekri Munaf

Sebab


Sebab gelombang mendorong darah
Sungai mengalir deras dalam aortaku Menghilirkan pencalang rindu Mengembara ke samudera hidup Sebab angin
menerpa masa laluku Menerbangkan angan-angan Rasa melayang-layang Berbisik dan berlalu Sebab angin masa
lalu melahirkan gelombang Di tengah samudera hidup Angan melayang-layang Melihat pencalang rindu karam.
Tenggelam
Jakarta, 1995

Berumah di Tepi Sungai

Sutan Iwan Soekri Munaf

Berumah di Tepi Sungai


Dari dalam dinding kaca rumah di tepi sungai
menghampar rona potret rumah-rumah kumuh milik pekerja yang banting tulang sehari semalam untuk
menundukkan kehidupan ibukota Dari beningnya cermin ini Aku berkaca pada angan-angan yang bermain pada riak
air tengah hari ditemani alunan musik 'compact disc' Aku merasakan tinggal dalam kerangkeng!
Aku rindu kembali ke ladang masa lalu
yang berderap setiap waktu untuk berpacu
Di sini, di rumah kaca di tepi sungai
tidak ada angin cuma belaian 'air conditioner' bercampur asap rokok dan berhitung cermat untuk melangkahi
pertarungan demi pertarungan sambil berharap mengibarkan bendera kemenangan
Sungguh, dari balik kaca di rumah tepi sungai
dari kamar yang terletak di lantai 20 ini tidak pernah bertanya lagi langkah esok pagi selain siap bertempur dengan
rancangan sesuai aturan
Dari rumah kaca di tepi sungai
sepi memanggil-manggil ...
Jakarta, 1994

Matahari

Sutan Iwan Soekri Munaf

Matahari



Siang. Aku jadi buta dalam pelukkan rajahari
setelah seribu malam berjaga-jaga Lembar waktu. Aku berjalan meraba-raba di antara sekat kota. Keringat hari ini
membuat aku hitam. Tambah hitam di siang hari
Matahari dengan gigi waktu
mendera orang bisu. Orang diam. Siapa pun tak pernah tahu gagu jadi permainan
Matahari dengan gigi waktu mendera orang bisu
Aku tak bisa tinggal diam setelah berjaga-jaga
dalam seribu malam. Hari ini bukan permainan
Matahari. Kubur waktu
jadi matahari. Keringat tak bisa diamkan nurani bila kelam menyibak malam. Nanti sepi. Lari ke balik waktu sia-sia
Siang. Aku jadi buta dalam pelukan harapan
Bandung 1988

Keinginan Waktu

Sutan Iwan Soekri Munaf

Keinginan Waktu

Keinginan waktu menelanjangi diri. Semakin menjadi
kata tak lagi hampa dipeluk detik. Walau berlari tak henti
dan nafas hari dipenuhi sahwat kalimat. Deras memacu keringat
sepi. Waktu pun tercabik seluruh denyar huruf-huruf menikam hasrat
dan makna terhampar kelelahan di antara keringat dan sahwat menit
dari dalam persetubuhan sepi. Tak ada lagi keinginan waktu
memandikan rindu yang beku. Pagi pun merenangi wacana sendu
yang terbenam dalam kalimat-kalimat buku. Waktu pun menjerit
dalam lolong panjang. Terdengar jauh hingga ke langit.
Dan kata-kata luluh
setiap langkah yang kutempuh, selalu rapuh!

Prabumulih, Okt 2007

Kecambah

Sutan Iwan Soekri Munaf
Kecambah

Kecambah luka itu tumbuh
menganga di antara waktu yang membasuh
rindu untuk bertemu. Rindu pun meruyak bunga sepi
bermandikan hari dalam
kata beku. Ketika buah hati
membasahi luka yang dalam,
huruf-huruf saling memakan minggu
hingga bulan rontok sebelum
musim salju tiba. Rindu
bukan lagi kalimat mengayu
yang berenang setiap tahun datang. Dan
pertemuan bukan lagi pesemaian
yang bakal ditunggu kedatangannya.
Kecambah luka selalu tumbuh
di antara rindu yang dihanyutkan waktu.
Kini windu ditanam dalam
ruyak luka untuk membuka
abad dan menunggu
bunga sepi menjadi buah hati. Barangkali
kata tidak lagi penting
setelah huruf cerai berai
dihanyutkan hujan rindu
ke dalam buhul waktu.
Dan akulah luka!
Dan akulah rindu!
Dan akulah waktu yang enggan menunggu!
Kecambah luka itu tumbuh
menganga dan meranggas mencari
mentari jiwa. Luka itu membesar dan mengayu
dalam buhul waktu. Bersama rindu
tak lagi kata membasahi
hati yang gersang.
Akulah huruf yang membuahi kata!
Akulah kata yang membongkar makna dalam waktu!
Kembalilah! Tak!
Waktu terus berjalan!
Kecambah luka itu kini tumbuh
menjadi pohon dendam
yang ingin menggapai mentari cinta!
Prabumulih 2007