Sabtu, 04 September 2010

Biarkan Malam

Biarkan Malam


kado kecil buat DN


Lembut punggung tanganmu menghangat di bibirku
Gairah kata menari-nari di balik sinar mata rindu
Waktu bergerak menabur kata-kata
Kita sibuk menangkap cinta!

Kalau genggaman hari bertemu dalam sentuhan jemari-jemari kita
Barangkali ada sepi yang terbakar cinta
Kemudian pada setiap senja kita membuka diri
Siapa tahu hati kembali terisi!

Walau minggu sudah lama berlalu
Bulan tak pernah mau bertahan
Dan tahun demi tahun akan menjadi embun
Dan menguap pada sinar mentari pertama
Aku masih menyebut-nyebut namamu
Entah sampai kapan
Dalam hati,semakin lama semakin menimbun
Ya, aku jatuh cinta!

Biarlah malam datang sendiri
Kita rasakan kembali:
Begini cinta berseri!

Jakarta, Juni 2002

Rabu, 28 Juli 2010

Mengenang Ayahanda

Sutan Iwan Soekri Munaf

Mengenang Ayahanda


Terpisah. Kembali jarak memadu resah
Sementara rindu berpacu. Aku pun ragu. Setelah waktu berjalan sudah. Aku lelah mencari kata tanpa bertemu.
Beku dalam windu demi windu suaramu membakar setiap jengkal dada tiada kalimat yang dapat merapat. Hati
terjerat Ayahanda. Aku ingin sekali mendekat
Kembali jarak dikuak. Barangkali angin sampirkan pesan tentang ragu yang terbentang. Barangkali jalan semakin
lapang Semakin lelah. Semakin lelah. Semua menjadi bimbang dan darah beku menggumpal-gumpal. Semua tinggal
impian Ayahanda. Aku di sini masih mengurai seribu cerita dan membaca sejuta makna dalam katamu saat menyisi...
Jakarta, September 1996

Sebab

Sutan Iwan Soekri Munaf

Sebab


Sebab gelombang mendorong darah
Sungai mengalir deras dalam aortaku Menghilirkan pencalang rindu Mengembara ke samudera hidup Sebab angin
menerpa masa laluku Menerbangkan angan-angan Rasa melayang-layang Berbisik dan berlalu Sebab angin masa
lalu melahirkan gelombang Di tengah samudera hidup Angan melayang-layang Melihat pencalang rindu karam.
Tenggelam
Jakarta, 1995

Berumah di Tepi Sungai

Sutan Iwan Soekri Munaf

Berumah di Tepi Sungai


Dari dalam dinding kaca rumah di tepi sungai
menghampar rona potret rumah-rumah kumuh milik pekerja yang banting tulang sehari semalam untuk
menundukkan kehidupan ibukota Dari beningnya cermin ini Aku berkaca pada angan-angan yang bermain pada riak
air tengah hari ditemani alunan musik 'compact disc' Aku merasakan tinggal dalam kerangkeng!
Aku rindu kembali ke ladang masa lalu
yang berderap setiap waktu untuk berpacu
Di sini, di rumah kaca di tepi sungai
tidak ada angin cuma belaian 'air conditioner' bercampur asap rokok dan berhitung cermat untuk melangkahi
pertarungan demi pertarungan sambil berharap mengibarkan bendera kemenangan
Sungguh, dari balik kaca di rumah tepi sungai
dari kamar yang terletak di lantai 20 ini tidak pernah bertanya lagi langkah esok pagi selain siap bertempur dengan
rancangan sesuai aturan
Dari rumah kaca di tepi sungai
sepi memanggil-manggil ...
Jakarta, 1994

Matahari

Sutan Iwan Soekri Munaf

Matahari



Siang. Aku jadi buta dalam pelukkan rajahari
setelah seribu malam berjaga-jaga Lembar waktu. Aku berjalan meraba-raba di antara sekat kota. Keringat hari ini
membuat aku hitam. Tambah hitam di siang hari
Matahari dengan gigi waktu
mendera orang bisu. Orang diam. Siapa pun tak pernah tahu gagu jadi permainan
Matahari dengan gigi waktu mendera orang bisu
Aku tak bisa tinggal diam setelah berjaga-jaga
dalam seribu malam. Hari ini bukan permainan
Matahari. Kubur waktu
jadi matahari. Keringat tak bisa diamkan nurani bila kelam menyibak malam. Nanti sepi. Lari ke balik waktu sia-sia
Siang. Aku jadi buta dalam pelukan harapan
Bandung 1988

Keinginan Waktu

Sutan Iwan Soekri Munaf

Keinginan Waktu

Keinginan waktu menelanjangi diri. Semakin menjadi
kata tak lagi hampa dipeluk detik. Walau berlari tak henti
dan nafas hari dipenuhi sahwat kalimat. Deras memacu keringat
sepi. Waktu pun tercabik seluruh denyar huruf-huruf menikam hasrat
dan makna terhampar kelelahan di antara keringat dan sahwat menit
dari dalam persetubuhan sepi. Tak ada lagi keinginan waktu
memandikan rindu yang beku. Pagi pun merenangi wacana sendu
yang terbenam dalam kalimat-kalimat buku. Waktu pun menjerit
dalam lolong panjang. Terdengar jauh hingga ke langit.
Dan kata-kata luluh
setiap langkah yang kutempuh, selalu rapuh!

Prabumulih, Okt 2007

Kecambah

Sutan Iwan Soekri Munaf
Kecambah

Kecambah luka itu tumbuh
menganga di antara waktu yang membasuh
rindu untuk bertemu. Rindu pun meruyak bunga sepi
bermandikan hari dalam
kata beku. Ketika buah hati
membasahi luka yang dalam,
huruf-huruf saling memakan minggu
hingga bulan rontok sebelum
musim salju tiba. Rindu
bukan lagi kalimat mengayu
yang berenang setiap tahun datang. Dan
pertemuan bukan lagi pesemaian
yang bakal ditunggu kedatangannya.
Kecambah luka selalu tumbuh
di antara rindu yang dihanyutkan waktu.
Kini windu ditanam dalam
ruyak luka untuk membuka
abad dan menunggu
bunga sepi menjadi buah hati. Barangkali
kata tidak lagi penting
setelah huruf cerai berai
dihanyutkan hujan rindu
ke dalam buhul waktu.
Dan akulah luka!
Dan akulah rindu!
Dan akulah waktu yang enggan menunggu!
Kecambah luka itu tumbuh
menganga dan meranggas mencari
mentari jiwa. Luka itu membesar dan mengayu
dalam buhul waktu. Bersama rindu
tak lagi kata membasahi
hati yang gersang.
Akulah huruf yang membuahi kata!
Akulah kata yang membongkar makna dalam waktu!
Kembalilah! Tak!
Waktu terus berjalan!
Kecambah luka itu kini tumbuh
menjadi pohon dendam
yang ingin menggapai mentari cinta!
Prabumulih 2007

IngatMu

Sutan Iwan Soekri Munaf
IngatMu

malam itu
Aku ingin menyibak waktu saat melintas senyum dalam foto itu. Kertas perak
bromida pun menyimpan kalimat yang begitu singkat dalam sehelai surat. Dan
suaramu masih terdengar setiap kembali ke ranjang. Jika terbangun di tubir
dinihari, namamu kusebut-sebut. Kalimat pun melempar kata-kata melayang:
Terbang. Kembali senyum itu menyapa mata. Tidak ada lagi jarak yang menjebak.
Engkau masih diam saat melintas kehendak. Bukan sekadar warna atau hitam-putih
dalam pandang sepi. Antara kantuk dan tidur: Aku melompat ke dalam foto itu.
Tidak. Engkau sedikit pun tidak merentak. Kalimat semakin jauh menabrak mimpi:
Di dalam hati. Aku rasakan: Kita menghabiskan waktu!
Aku hilang kata.
Engkau pun diam saja.
Jakarta 2002

Kendara Waktu

Sutan Iwan Soekri Munaf
Kendara Waktu
- saat ingat cintaku
kendara hari melaju di bantaran kata. angin sejuk dalam kalimatmu menghentikan
waktu di halte mimpi. begitu lembut rambutmu mengurai makna yang bertahun-tahun
menunggu tumpangan. dan dalam berkas sinar mataku tersimpan huruf-huruf cinta
yang tak pernah bisa mengalir dari mulut sepi. kendara itu belum pernah sampai
ke terminal rasa. aku masih menatap gerak menit dalam frasa merah bibirmu. biar
pun detik cemburu pada remasan tangan-tangan cinta, masih juga hari menyajikan
makanan pembuka: sup rindu. dan kita menghabiskan jam-jam persinggahan di
restoran sangsi sambil menunggu panggilan kendara bulan. ya, resahmu dalam
perjalanan minggu mencapai windu, tersirat dalam nada bicaramu saat memesan
makanan utama: pernikahan senja.
aku masih di sini
engkau pun masih menunggu
jakarta-2002

Tangga

Sutan Iwan Soekri Munaf
Tangga

Bulan perak di langit gelap. Mampir
Saat menangkap sorot mata jernih. Tubuh pun menjadi transparan
dan kau semakin jauh bergerak. Kendara
waktu mengantarkan rindu ke tempatmu
datang. Lihatlah aku buat tangga menjulang
Aku naik anak tangga demi anak tangga. Kau
Masih terlalu jauh. Langit menyembunyikanmu
Dari sini
Bulan perak di langit gelap. Berlayar
Di samudera angkasa. Menyampaikan salam perpisahan
Dan kembali esok malam menangkap wajahku.
Barangkali!
Bandung, 7 Oktober 1988

Waktu Begitu Sempit

Sutan Iwan Soekri Munaf

Waktu Begitu Sempit



waktu begitu sempit dan kata pun sulit menembus rindu yang beku
ketika hati mencair diikuti kalimat mengalir, percakapan berselancar ke
laut hasrat
dan huruf membatu karang, membendung gelombang pikiran dan ombak rasa yang
bergejolak
ya, jangan katakan rindu pada beku waktu!
dalam setiap kalimat tak pernah ada lagi kata mencair dan semangat mengalir
saat hati terjepit di antara pikiran dan rasa
dan di sini huruf kaku saat kata membelenggu waktu dan kalimat sibuk memacu
rindu di dalam kalbu...

Warung Legenda

Sutan Iwan Soekri Munaf

Warung Legenda

Dari sini. Malam menaburkan kerlip lampu di arus sungai
menghanyutkan dendam jauh ke tengah. Suara penyanyi
diiringi musik, merenangi dinginnya waktu: Bersamamu!
Kata tak lagi mendayung perahu rindu. Tersebab rindu
sudah ke muara membawa detik dan menit yang singgah
sedang jam dan hari telah membenamkan kita ke lubuk: Sangsai!
Setiap kali hasrat seperti ikan berkelebat mengantarkan sunyi
dan bulan dan tahun sudah lama berlayar dari hulu: Kita masih di rumah
menjala bayang-bayang di antara kerlip lampu

“Aku tidak sendiri!” katamu
sambil menggandeng kata. Kata pun duduk di kursi
menjulurkan kaki hingga basah dipermainkan riak sungai hati

Dari bolamatamu yang bundar, airmata pun keluar
barangkali itulah mataair sungai ini di mana perahu rindu berlayar
dan kita bukan lagi sejoli yang duduk di meja makan
sambil waktu mempermainkan kita ke dalam lubuk angan-angan
Lihatlah, detik tidak lagi menggerakkan baling-baling cinta
karena menit menambatkan sauh resah di antara wajah kita
dan perahu rindu berlayar sendiri ke tengah laut
Tak bisa dicegah, Dalam kalimat berisi satu kata, namaku kau sebut-sebut!

“Apa menu yang kau pesan?” tanyaku
Semangkuk rasa dan segelas pencerahan.
Namun waktu tanpa malu-malu
menjadikan kita umpan
dan melemparnya jauh, hingga terbenam dalam-dalam. Dan ikan-ikan harapan
muncul dari kedalaman. Kita pun jadi santapan!

Palembang, Juni 2009

Waktu Pun Terpaku

Sutan Iwan Soekri Munaf

Waktu Pun Terpaku


Waktu pun terpaku di dalam cermin
dan senyum tipismu mematahkan malam. Dingin
merengkuh setiap detik bersamu: Genggaman jemari
dan hangat tubuhmu memancarkan getar energi!
Suara menjadi musik mengiring sepi menjadi lagu
mengantar kembali kata-kata yang menyendat kalbu.
Namun cermin itu enggan berbagi
kendati waktu menggeliat dari paku penuh darah
dan tiba-tiba mampir aroma yang tak asing bagiku
rambutmu yang harum saat kucium.
Dan kita ingin buktikan siapa paling setia ini kali
tak ada lagi kata menadah memecah cermin penuh amarah
dan rindu menjadi puncak segala genggaman paku memaku waktu
dan kata perlahan menari dalam cermin: Perjalanan ini sudah lima tahun!
Kita menangkap tanda-tanda
yang singgah bersama waktu.
Dan perlahan aku menepi
menjauhi cermin, membiarkan kata: Pergi!
Dan malam pun kita berbagi
mungkin masih ada hati tersisa


Mei 2009

Waktu pun Beku

Sutan Iwan Soekri Munaf

Waktu pun Beku


waktu beku. seribu rindu mendudu. kata mencari makna dari balik canda. engkau masih di sana menyapa bara dalam dada!
aku ingin datang. ini siang semakin panjang. hanya kalimat membelah hayat, dan langkah menjadi hajat!
ketika datang kelam. malam begitu lembam. matamu menangkap wacana. hatiku sudah jauh mengelana, mencari cinta!

prabumulih, 31 januari 2007

Tentang Isteri dan Gulai

Sutan Iwan Soekri Munaf

Tentang Isteri dan Gulai

Bubu yang terpasang di sungai rindu telah memerangkap waktu
Waktu menggelepar-gelepar, meronta
dan engkau menangkapnya
sambil membayangkan menggulai waktu
untuk santap siang kita
Seperti kemarin, dan kemarin dulu, dan kemarin-kemarin
engkau memeriksa bubu di sungai rindu
tak pernah ada waktu yang terperangkap
tapi tak pernah juga engkau menyerah
“Suatu hari akan kumasak gulai waktu
yang paling nikmat untuk kita!” katamu
Dan kini langkahmu bergegas
setelah harapan menjadi kenyataan
pintu dapur pun menegurmu dengan sukacita
“Selamat datang manusia perkasa
yang tak pernah surut menggapai cita-cita!”
Seperti perempuan lain, dan perempuan lain dan perempuan lain
engkau ternsenyum dan mulai merejang bumbu
sambil mendendangkan lagu-lagu
dan aku lapar menunggu siang: Bersantap!

Palembang, 2009

Tentang Bukan Malam Pertama

Sutan Iwan Soekri Munaf

Tentang Bukan Malam Pertama

Daun yang gugur dibentang angin dingin
jatuh tergelincir ke tanah basah. Sayup sampai
waktu menegurku: Malam sudah jauh berjalan
meninggalkan pohon-pohon kata yang tegak menjulang
dan engkau memetakan kalimat di antara detik terbuang
tanpa menunggu daun sepi berhamburan ke rindu perempuan
sambil menyeka keringat: Sekali lagi, ini keringat, bukan rinai
yang menembus malam, katamu. Bulan pun bulat semakin
menerangi kalimat yang kelam sempurna
Barangkali ini bukan malam pertama
dari huruf-huruf yang mengakar ke balik rindu
penuh nafas: Kali ini, aku ingat
menggali sepi ini
ke dalam hangatmu!
Dan senyummu penuh keringat
yang lepas dari pori-porimu
seperti daun rindu yang gugur dari pohon kata

Palembang 2009

Setelah Minum Kopi

Setelah Minum Kopi

di rumah TA

Hari kembali menggoda waktu
Begitu dini melirik kata
Aku lupa bagaimana merangkai cinta
setelah engkau pergi ke bilik rindu
Waktu menangkap kata
di dalam pekatnya air kopi
Senyummu masih remaja
dan mengurai kisah setiap pagi
Hari ini, kopi hangat mengalir
ke kerongkongan. Aku menangkap
rambutmu yang menggelisir
di mataku. Waktu semakin menyekap
Hari begitu dini: Mampir
ke kamar melepas denyar
Jakarta, Pebruari 2002

Malam Semakin Kelam Di Mata Hati

Malam Semakin Kelam Di Mata Hati

Aku menatap bayang-bayang sendiri
di jalan lengang di ujung malam. Dini
Kelam pun menyaputi mata hati
dan engkau tak pernah lagi di sini
Waktu bergerak dan rindu terjebak
Tak kutemukan hari berdetak
Rentak mencarimu. Hati pun meledak
Waktu pun bergerak: Bergejolak
Di sini. Kata berlari-lari
Dalam mimpi pun engkau menari
Aku masih menikmati: Jarak
hingga detik semakin marak
Dan kelam pun tiba: Segera
aku menangkapmu. Tapi engkau di mana?
Jakarta 1998-2002

ML

ML

catatan lepas
Berita itu bukan sekadar. Kata pun memetik malam yang
tumbuh. Seribu getar
mengayun pohon waktu. Bunga kenangan pun luruh.
Barangkali sehelai rambut yang
pernah kusimpan, masih berkisah tentang rindu.
Begitulah debar.
Dan sekilat bola mata mengantarkan kalimat. Aku ingin
kembali ke malam minggu
dulu. Berjalan berdua. Membaca bulan. Suaramu
mendendangkan bintang. Barangkali
hasrat tak pernah lewat. Dan engkau berdiri di depan
pintu. Sepi pun terbuka.
Langkah terbagi ke dalam jiwa. Malam ini aku bosan
dengan segala impian. Tapi
engkau masih bimbang.
Kata itu bukan sekadar. Waktu pun patah. Aku berlari
membuang mimpi. Engkau
tersimpan di dalam tahun. Setiap ragu pun berputar.
Dan kalimat itu lelah
melangkah. Tak ada lagi bola matamu mengantar sepi.
Aku semakin memahami. Kata dan kalimat tersimpan jauh
di dalam waktu. Di dalam
rindu kembali mimpi. Di dalam sepi aku menatapmu.
Jakarta 2002

Cintaku

Cintaku

ada lagikah sepi
membelah batu hati?
ada lagikah kata
membakar bara makna?
ada lagikah kalimat
menyayat setiap hasrat?
ada lagikah cinta
menghanguskan frasa dalam wacana?
jakarta-maret-11-02

Kisah Lain

Kisah Lain

malam dan kelam. hari dan mentari. waktu dan beku. aku tidak tahu.
dendam dan rejam. puisi dan sepi.
mata dan kata. senja pun maya.
aku menunggu
engkau masih bisu
kaku
dadamu
menahan
perjalanan
perlahan dan tergesa. diam dan bergerak. bungkam dan bicara. kematian pun berarak.
barangkali tidak ada tugu
tidak ada tanda
tidak ada nada
barangkali tidak lagi kaku
tidak lagi bicara
tidak lagi senja
yang akan kucari
saat
tiba
dan seribu nyanyi
mengantar kisah
senja
lama
sekali
tidak ada desi. tidak ada anna. tidak ada ina. tidak ada msrd. tidak mada olly. tidak ada ml lagi. tidak ada apa-apa lagi.
mata
hanya mata menatap jauh
sepanjang waktu yang kutempuh
dan engkau
masih setia di situ
ya, aku kini siap menghadap

ragunan-cipaku, jakarta-pebruari 2002

Bidadariku, Tidurlah

Bidadariku, Tidurlah
Catatan untuk Ina

Suaramu senantiasa datang. Menjenguk malam-malamku. Tangga waktu tiba-tiba hilang. Kita melompat jauh ke dalam kolam bisu. Di sini – terkadang – kata menjebak rindu. Aku ingin kembali duduk bersama dan engkau menyulam cerita pada kanvas hitam. Dan mengalir lagi rasa yang sudah lama hilang.
Bidadariku, tidurlah. Aku akan memetik mimpi dari pohon waktu. Sebelum mentari bangkit, pulaslah di ranjang beku. Lepaskan segala gundah. Kita akan mengunyah mimpi tanpa menafsir arti. Dan kembali aku merasa sepi. Di sini.
Ragunan 22 Peb 2002

Dari Gedung BIP, Jalan Gatot Subroto

Dari Gedung BIP, Jalan Gatot Subroto

Hujan jatuh dari balik dinding kaca lantai empat, berbaris rapat ke jalan raya
Sedang jalan masih macet. Tak ada suara pada kelam mewarnai seberang luar
dan waktu memanggil-manggil: Perjalanan hanya sekejap, berapa besar kau bayar?
Lamat-lamat. Aku membaca sepi di ruang kata: Berapa makna yang harus kuduga?
Sebaris lagi
Selokan pun meluap
Bis kota yang padat dan penumpang yang kuyup, tampak beberapa kali lewat
Aku masih duduk di hadapan meja berikut setumpuk kertas. AC masih menyala
tapi senja sudah jatuh ke pangkuan malam. Dan waktu selalu berkata:
Aku tiba dari
dan berangkat ke
Tanpa hasrat
Aku masih suka duduk di sini sambil memanggil-manggil waktu
Dering telpon itu membangunkan: Hallo, di sini waktu menunggu
Nopember 2001

Di Utara Pasar

Di Utara Pasar

bersama SS
1.
Aku kembali ke tanahmu, Bali.
Embun belum lagi turun.
Perempuan bergegas dalam temaram menenteng hari di pundak. Para lelaki jauh di tengah kerumun
sepanjang malam. Sepanjang malam
bersinar di Utara Pasar
Kumbasari! Kumbasari!
2.
Aku mendekap perempuanmu, Bali
dan setiap detik terbakar
di antara Kuta dan Legian
Mata bertatap silang
di panggung legong
Ya, tak ada kecak.
Tak ada lagi banjar-banjar
Setelah malam menyambut pagi
3.
Ya, pagi yang datang
mengantarkan perempuan penikam malam ke ranjang waktu. Mentari melangkahi rindu
dan menitipkan kata di balik mimpi.
Mengeja hari-hari
Di sini lelaki mengajuk sendiri
di antara embun yang mulai terbang
tinggalkan kulit daun
4.
Ya, aku kembali ke tanahmu, Bali
Semua warna dalam garis di tangan pelukis
Semua lekuk dalam bentuk di tangan pematung
Membekas pada pasir putih di Jimbaran
Membekas di Kumbasari, di Ubung dan di Sukawati
Semua menyatu. Kembali bayang-bayang Ubud, Sangeh dan Bedugul
Kembali bayang-bayang Frans Najira, Misran DS dan seribu penari kecak
Kembali bayang-bayang dada perempuan bule menyembul di Warung Made
Semua menyatu.
Ya, Bali
5.
Di balik rindu ini, Bali
tersimpan senyummu
seperti senyum George Washington
yang terpancar di balik kertas US$
Di balik semua ini, Bali
Mana lagi yang tersisa dari
percakapan kita selama ini:
Kembali mengajuk waktu
mengatur langkah
dan membangun karang
dari hempasan ombak...
Denpasar-Bandung, September 2001

ANJING

ANJING

Kau
!

Jakarta- 2001

Surat

Surat

Surat itu sudah hangus bersama kata-kata
yang membakar dada dan binar-binar mata
menyala. Melahap waktu yang lalu
Tak ada lagi suara yang melekat dalam suratmu
Waktu bergerak didorong kata-kata
Hari pun lewat
Bulan pun lewat
Lewat begitu saja...
Dan benak dan jelaga
dan harapan dan jelaga
Semua menjadi sisa waktu: Membatu
dan mata semakin memburu
Mata pemburu!
Surat tanpa alamat sudah hangus bersama luka
yang terbakar...
Jakarta, Agustus 2001

Kisah Waktu

Kisah Waktu


Waktu tersesat di rimba kata
setelah tinggalkan semak makna
Kelam. Langit-langit hasrat
penuh pohon-pohon kalimat
bercabang-cabang!
Tak ada lagi mentari
mengganti hari: Dari malam ke siang!
Detik melempar sepi
dan jatuh ke tumpukan guguran daun-daun huruf
di tanah rindu. Semua tertutup
Udara basah. Gerak langkah
mencari menit. Tak pernah lelah!
Kalau pun terjebak ke ujung alinea: Kembara
menangkap jam-jam cinta yang merambat ke ranting wacana
Adakah minggu kembali mengajuk bulan?
Adakah tanya kembali menjerat tahun?
Satu-satu
pun tumbang digerogoti windu, bahkan abad, bahkan milenium...
Sia-sia. Sungguh!
Agustus 2001

SAJAK TENTANG OLLY

SAJAK TENTANG OLLY
(alinea itu hilang)

mahar kata yang pernah kuberikan
sudah tumpah ke dalam resah
engkau tak lagi menunggu waktu
dan aku kembali mengurai rindu
jembar kalimat yang engkau tuturkan
lewat senyum, telah mengundang gundah
dan tali yang mengikat kita pun putus
sementara aku menafsir sepi
pada alinea yang terhapus
engkau pergi. sendiri!
kuningan, jakarta, juni, 2001

18 Jam Meledakkan Benak

18 Jam Meledakkan Benak

Menunggu waktu yang beku
kaki tak bergerak
Jemu berpacu ragu memburu
Kisah membelah kata-kata. Menjebak
perjalanan kalimat pada malam melepas mimpi
Sepotong geraham tanggal dari huruf-huruf sepi
Dan kelam beranjak pergi mengantar makna
setelah hasrat melompat dalam obrolan sampai pagi
Aku masih mencoba mencairkan waktu dan buang ragu
menjelang bangkit mentari: Barangkali ada sapa perduli!
Tak ada langkah kaki yang sampai ke balik mimpi: Kita
sudah menafsir kata yang hinggap ke batas arti
dan orang masih mabuk membaca wacana tanpa tentu
Kini- sebaris malammu berlari mencapai pagi
tanpa kalimat selesai
Kata-kata pun mengirai
mencari momen yang tepat
meledakkan seluruh kalimat!
Jakarta-2001

SUATU MALAM

SUATU MALAM

Suatu malam dalam hitungan beku. Dalam lemari es tersisa waktu yang segar di
antara buah rindu dan anggur jiwa. Mulut siapa yang menenggak kata ketika hari
tinggal dalam hitungan dan senja sudah lama berangkat?
Suatu kali ingin sekali meminum waktu dan menikmati buah rindu dalam malam
panjang. Barangkali anggur jiwa menangkap lagi hari-hari baru dan minggu
mencair mencari bulan, setelah tahun akan menangkap abad. Jiwa siapa yang
tenggelam dalam perjalanan ketika malam larut menegur sisa beku dalam waktu?
Suatu hari nanti buah rindu menangkap anggur jiwa dalam mulut waktu dan beku
itu mencair lagi. Di sini!
jakarta, maret 2001

Ombak Malam

Ombak Malam

untukmu, kekasih hati
Laut malamku bergemuruh menerjang batu-batu, menelan karang rindu yang menyimpan ikan-ikan kecil dalam sejarah beku. Hempasan hasrat malamku menggoyang-goyang perahu harapan, sehingga kelam jiwa semakin terbenam ke dalam gelombang.
Gelombang malam bergulung-gulung ingin menangkapmu, yang tiba di antara riak-riak pasir dan berlari ke tengah lautan hati. Saat ini, laut malam tidak lagi membekukan hasrat dan barangkali menguap dalam tangkapan waktu yang mampir.
Malam pun semakin memanggil-manggil...
Jakarta, 1 Maret 2001

STATSIUN GAMBIR,SORE

STATSIUN GAMBIR,SORE

warna sepi merona di antara rel memandang jauh ke lalu lalang orang dan suara melolong ke tengah sepi di antara peluit panjang menidurkan seorang bocah di peron empat.
sesekali gerimis memanggil lelaki. barangkali ada mimpi terhapus dari balik jendela kereta. ya, sore ini perlahan turun menangkap kisah di antara rel dan peluit panjang.
dan warna rindu menghitung gerimis dari baris-baris yang gugur di balik kisah. di sini, sesekali peluit panjang menceritakan kembali tentang rel yang diam dan dingin. di peron empat tidak ada lagi tangis seorang bocah:
warna sepi merona di antara kisah peluit panjang dan kantuk panjang rel dingin.
jakarta nopember 2k

DI KOLAM RENANG

DI KOLAM RENANG

gemericik sepi mengalir bersama kayuhan diri merenangi nasib dalam kolam rindu
barangkali tumpah lagi seribu kata mengalir di antara riak kalbu di sini aku merenangi sepi sambil melayari mimpi yang selalu kembali
jakarta, agustus 2k

Ingat Lesli Basuki

Ingat Lesli Basuki

Wangi tubuhmu adalah semerbak mawar pagi
yang merekahkan hari-hari lelaki. Dan roma sepi
merambat pada setiap sentimeter jangat rinduku
Di sini kita pandu sejarah yang beku
di antara buku-buku diri
Di sini tidak ada lagi tanya basa-basi
tentang kata yang mencairkan waktu
dan kalimat pun tersimpan dalam kelu
Apakah setiap mata menjalarkan duri
yang selalu datang pada setiap sendu?
Mungkin mawar hati tidak akan pernah layu
hanya dibuai daun ragu. Kita menjabat tangan
sambil melepaskan sejumlah angan-angan
dan kemudian silang tatap ke akar bisu
Sungguh! Di sini aku menangkap lagi impian
Ya. Semuanya mengalir ke pintu zaman
dan membalikkan makna. Siapa pun risi
saat mampir menjamah hari
Betul. Kita semakin rentan
melewati semua ini ...

1999

Gadis Putih

Gadis Putih
yang berbaju hitam

Gadis putih berbaju hitam
pada getar rambutmu yang dipermainkan angin
tersimpan kata-kata: Dendam
yang beku. Sorot mata pengelana: Dingin
Aku mencari sinar sejati
yang datang dari bilik nurani
setelah langkah sejarah berhenti
di antara suara-suara. Di sini: Sepi….
Gadis putih berbaju hitam
ingin kusibak kelam malam. Engkau masih memendam
bahasa rindu: Kata-kata
Aku melangkah sambil menduga-duga. Siapa
akan kembalikan waktu yang tumpah
setelah hati patah. Aku mulai mengerti makna gundah …
Sungguh!
Akulah lelaki hitam berbaju putih
yang menanggalkan berita sedih
dengan telanjang dada
menatap dunia: Permainan kata-kata
Sungguh!
Semua engkau simpan dalam-dalam
dan semakin tercipta pada setiap malam. Berjam-jam…
kembali duduk bersama
dan cerita tentang bulan purnama
atau kisah-kisah lalu
tempat kita bertemu …
Aku
lelaki hitam
berbaju putih
yang merindukanmu,
gadis putih
berbaju hitam
Jakarta, 23 September 1999

No Regrets

No Regrets

Kepada A, Catatan dari sebuah warung

Mata tajam. Cahya gempita hamburkan bilik kalbu.
Adakah mentari memanggang bayang-bayang lelaki?
Dari kilat jangat putih menjalar berahi
di antara rambutmu mengibas waktu. Beku
dan jatuh sibak misteri. Iseng pun terpantul
dalam jerat rindu datang memukul-mukul
Ketika anganku menggapai matamu
Dalam. Kembara hari ke hari
merangkul dendam lelaki
dari dada penuh aroma. Di mana jalanku?
Buta. Kelam waktu di mana-mana
mencari kata entah untuk siapa ...
Kaukah perempuan rindu itu
yang berkaca dalam prisma kata: Memancar ke hati
dan meluncur ke dalam jiwa?
Akulah lelaki yang dipermainkan sepi
setelah menatapmu. Sungguh, perempuanku!
Tak ada kalimat lagi secerah tatapan mata
tanpa goda
hanya penuh makna
Barangkali malam ini lahir. Seribu mimpi
pun segera beranjak. Aku merengkuh rindu itu
di antara matamu
Semuanya jadi hampa: Ketika kau tak lagi di sini!
Johor Bahru - April 1999

Lagu Orang Kalahan

Lagu Orang Kalahan

pada Uni
Permintaanmu sederhana
dan tidak mengada-ada
kini tidak pernah bisa terpenuhi.
Aku hilang daya
Aku sasar makna
melangkahi: waktu dan ruang
Aku cari rindu untuk bertemu.
Kini semua: Kosong!
Sepasang matamu menjadi pisau tajam mengerat-erat jantung dan hati.
Barangkali bukan dendam dan bukan tatap melompong.
Aku akan selalu menafsirkan dari sudut perjalanan :
Inikah lagu orang kalahan?
Langkah waktu dan ruang sudah semakin jauh dari rangkak kaki.
Semua berjalan, juga kamu
Aku membaca rindu yang tumpah :
Rapuh tanpa peluk tanpa cium kamu....
Jakarta, 2 Juni 1998

KEPADA MOTINGGO

KEPADA MOTINGGO

Aku itu: Rindu
Aku itu: Bosan
Aku itu cair.
Aku itu beku.
Aku itu terang.
Aku itu padam.
Aku itu: Lampu
Aku itu berat.
Aku itu ringan.
Aku itu cinta.
Aku itu benci.
Aku itu: Angan-angan
Aku itu kata-kata
Aku itu perilaku
Aku itu jalan
Aku itu kebun
Aku itu pohon.
Aku itu hewan.
Aku itu: Rimba.
Aku itu gunung.
Aku itu batu.
Aku itu: Debu.
Aku itu datang.
Aku itu pergi.
Aku itu: Korban
Aku itu bunga.
Aku itu rumput.
Aku itu: Embun.
Aku itu subuh.
Aku itu Isya.
Aku itu: Waktu
Aku itu detak.
Aku itu diam.
Aku itu: Sepatu
Aku itu berita.
Aku itu bahasa.
Aku itu: Geresehpeseh-geresehpeseh-geresehpeseh
Aku itu puisi.
Aku itu manuskrip.
Aku itu prasasti.
Aku itu intelektual.
Aku itu:
Ubruggudubrug-ubruggudubrug-ubruggudubrug-ubruggudubrug
Aku itu tanah.
Aku itu langit.
Aku itu bara.
Aku itu salju.
Aku itu hujan.
Aku itu panas.
Aku itu malam.
Aku itu siang.
Aku itu bulan.
Aku itu matahari.
Aku itu: geresehpeseh-geresehpeseh-geresehpeseh
Aku itu benda.
Aku itu mekanik.
Aku itu listrik.
Aku itu robot.
Aku itu pejabat.
Aku itu rakyat.
Aku itu suara.
Aku itu takut.
Aku itu berani.
Aku itu senjata.
Aku itu berangus.
Aku itu sekap.
Aku itu penjara.
Aku itu merdeka.
Aku itu sendiri.
Aku itu baris-baris.
Aku itu telanjang.
Aku itu stelan jas.
Aku itu: Gedebergerebeg-gedebergerebeg-gedebergerebeg.
Aku itu sayap.
Aku itu sirip.
Aku itu tangan.
Aku itu letih.
Aku itu kayuh.
Aku itu perahu.
Aku itu laut.
Aku itu sungai.
Aku itu danau.
Aku itu ikan.
Aku itu: Burung.
Aku itu kepala.
Aku itu geleng-geleng.
Aku itu terbang.
Aku itu berenang.
Aku itu:
Tenggelam
Aku itu kantuk.
Aku itu jaga.
Aku itu mata.
Aku itu liar.
Aku itu dendam.
Aku itu ramah.
Aku itu aktor.
Aku itu kencing.
Aku itu berak.
Aku itu lari.
Aku itu tidur.
Aku itu lapar.
Aku itu makan.
Aku itu: Ketepak-ketipung-ketepak-ketipung-ketepak-ketipung
Aku itu:
Lantas, siapa kamu?
Jakarta, 1998

Pertemuan Pagi

Pertemuan Pagi
pro: Elly Carmelia
Hari ini kita bertemu dan tak bicara apa-apa
karena waktu membeku dalam matamu
Aku tak sanggup mencairkan rindu
setelah sekian lama berpisah. Malah senja
semakin kembara di antara waktu
tanpa pernah kita tahu
Hari ini di sungai diam
waktu pun mengalir
Diammu masih diam batu kali
Hari ini rindu pun hilang
selama waktu memisahkan. Semakin
dalam terasa semakin mendekatkan
waktu yang hilang
Hari ini tidak lagi kopi disentuh
selain senyummu masih terasa
sampai kapan. Sampai kapan pun!
Jakarta, 29 nov 1994

Kata

Kata

Di sini ada irama musik bertalu-talu
mendudu tanpa lagu dalam nada
bergerak mengarak kata
menjadi sayat kata
menjadi rekat kata
menjadi pikat kata
menjadi lezat!
Di sini ada kata
berdetik memadu-madu
berlalu tanpa makna
mengalun mencari tahu
dan tak tahu irama
menjadi sesak irama
menjadi sesal irama
menjadi sesam irama
menjadi setan!
Irama menjadi sesat di sini!

Jakarta Oktober 1998

Selat Sunda Malam

Sutan Iwan Soekri Munaf

Selat Sunda Malam


begitulah. kapten kapal mengangkat sauh. suara hingar bingar house music dari perempuan-perempuan malam memecah ombak tanpa lirik. seluruh buruh larut dalam gemuruh. sawer pun menggebu dalam alun nada tak menentu. inilah negeriku dengan carut marut membingkai selat sunda. tinggalkan krakatau yang tersisa dalam waktu. malam kian beranjak. sama sekali engkau tak tersentak, walau lagu sms berkumandang!

selat sunda malam, maret 2007

Sudah Berapa Kali

Sutan Iwan Soekri Munaf

Sudah Berapa Kali

Sudah berapa kali malam memberi mimpi pada kalimat yang singgah. Kata pun mencari diri ke balik waktu yang lalu-lalang di antara ruang-ruang: Kosong!
Sudah berapa kali kalimat menolak bala pada pagi pertama, memperingatkan malam agar lelap menjadi bagian istirah tanpa mimpi yang menggugah. Kita pun menafsir kembali setiap kata yang menerkam waktu di antara labirin: Sepi!
Sudah berapa kali aku mengunyah malam pada makan tanpamu. Kau pun mencari makna kesendirian ke bilik waktuku sambil membongkar-bongkar seluruh detik yang mungkin menyelipkan rindu pada sudut-sudut rahasia: Risi!
Sudah berapa kali engkau memanggil waktu dengan kata-kata pukau yang dahsyat. Kalimat pun berhamburan ke tengah medan waktu, tak menari walau lagu erotik bergema setiap detik: Lolong!
Sudah berapa kali kita menikmati malam tanpa kata!

Palembang, Mei 2009

Tentang Waktu

Tentang Waktu

Masihkah sabar mengakar dalam kalbu
seperti menunggu waktu yang akan tiba? Selalu
kata tumbuh dan bercabang-cabang, seperti detik merindu
dan menapak ke jam, hari, minggu, bulan, tahun hingga windu
dengan pasti. Selalu kalimat memberati makna. Bisu
bertalu-talu. Tak pernah ada jawab: Aku meraba dalam ragu!
Masihkah waktu dengan sabar menunggu
setelah kata-kata luruh dimakan waktu?
Masihkah waktu mengakar dalam kalbu
setelah sabar pergi dan berlalu?
Masihkah waktu menungguku
setelah aku menunggu waktu?
Prabumulih, September 2008

Sajak Waktu Berhenti

Sajak Waktu Berhenti

Waktu yang tersaji pada santap malam ini, sudah diluluhlantakkan pada pertemuan denganmu. Bisu yang tercipta telah menggali kedalaman kata pada pancaran mata. Waktu pun berhenti. Menunggu. Banyak sekali yang terjadi. Kata-kata tak pernah selesai terucapkan, sedang waktu selalu berjalan. Hanya senyuman sepi yang datang padaku. Dan cahaya dalam mata membuka waktu yang berhenti. Terlalu banyak yang terabaikan. Termasuk rindu yang dulu, padamu!
Bekasi 2008

Tentang Peunayong

Sutan Iwan Soekri Munaf
Tentang Peunayong

Sungai waktu dan ikan kata-kata
selalu kembali menjerat kalimat yang tak pernah sudah
dan jembatan rindu menangkap mimpi yang tak pernah lelah
mengurai rasa dalam setiap keramba makna
Para penjaja ikan mengobral kata
hanya untuk menyambung hidup yang penuh rona
dan para nelayan berharap banyak, sebagaimana anak-istrinya berdoa
kembali untuk mengayuh perahu hidup dalam sungai waktu: Senja
menjadi pesona yang tak pernah kembali hingga malam membuka
waktu: Kelam yang luka!
Sungai waktu
kering
dan detik air membeku
dalam rindu
menatap bayang-bayang dalam jaring
semu!
Aku ingin kembali
membeli ikan kata-kata dari
Mu!

2008

Tentang Mimpi

Tentang Mimpi

Barangkali waktu bermimpi
berkali-kali menghujat sepi
yang datang bertubi-tubi. Kalimat tak pernah menepi
walau seujung kuku, tetap melayari ujung hari
untuk mencapai minggu. Kemudian kata menjadi
baris-baris huruf. Waktu pun berlalu. Sendiri
mencari makna dalam tidur panjang melepas letih. Lesi
mengukir wajah dan tubuh waktu. Tak pernah beku. Pasti!
Aku ingin berteman dengan waktu sambil melayari mimpi
yang menuai kata-kata bermakna agar hidup menjadi
berarti!
Tidak lagi kata-kata menjadi liar. Tidak lagi
kata-kata menjadi bayang-bayang yang berlari
mengejar mimpi. Tanpa makna berarti!

Prabumulih, September 2008

Tentang Mata

Tentang Mata

Cahaya jatuh di balik jendela. Waktu
menabir sepi dalam kata-kata beku. Hanya bayang-bayang semu
yang singgah ke pupil rindu. Aku masih mengejar waktu
dan engkau masih duduk di sana. Menunggu!
Semua hanya datang dan lewat
tanpa mewarnai hasrat!
Bekasi 2008

Tentang M

Tentang M

Detik membuka sepi yang terjadi
dan senyum menawarkan dahaga
dari mentari yang melangkah dengan pasti.
Aku kembali bertanya tentang petaka
dan semua waktu : Bening mata hati
bakal menghitam setelah malam membelam
dan rindu semakin dendam menatap jauh ke alam
liar yang memancar dari rindu yang risi
Adakah kau di sana
menyapa setiap senja yang datang?
Aku di sini memuja
sepi yang selalu menjelang!
Rindu tak berarti apa-apa
dalam pertemuan : Sia-sia!
Bekasi 2008

Tentang Ibu

Tentang Ibu

Sebagaimana batu ditembus sembilu
tujuh rindu dipahat waktu : Tetap saja ragu
menjadi buah kata yang tumbuh subur dalam hatimu
Tak adakah masa saling ceria yang mengakar dari jiwa
sehingga sepi bukan lagi mainan hari dalam kalimat tanpa
makna? Sungguh ikhtiar tak berarti pada huruf-huruf yang meluncur
mengejar minggu, menangkap bulan, mendekap tahun : Hancur!
Semua terbang seperti detik berlari mengejar windu…
Tak ada lagikah sapa sendu yang meluncur
dalam dahaga saat menyusu?
Aku ingin beriya-iya dengan waktu
sebelum merenggut dan membeku
Aku ingin beriya-iya dengan kata
agar jiwa kokoh berdiri dan kembali melangkah : Kembara!
Sungguh! Aku ingin beriya-iya denganmu
sebelum waktu bersimpuh dan membeku dalam tubuhku…

Bekasi 2008

Tentang Hati

Tentang Hati

- catatan tragedi Pasuruan September 2008

Mustinya dalam pelukan bulan penuh rahmat
memberi adalah nikmat. Kerinduan sepanjang hayat
bukan hanya terucap dalam kalimat!
Waktu membuka mata. Memberi bukan hanya kata-kata
dan seribu duka membakar hati. Melayang sudah puluhan nyawa
karena zakat dan kemiskinan. Bisa terjadi: Siapa nyana?
Perjalanan waktu begitu singkat di negeri tanpa jiwa dan penuh curiga.
Aku dan waktu
membagi ragu
dalam kalbu!
Begitukah cara memberi di antara rakyat miskin?
Membagikan dengan cara rebutan
sehingga manusia menjadi hewan
yang menguji kekuatan dalam kelemahan iman. Semakin
kata tak berarti
semakin waktu jauh melangkah: Sepi
semakin aku tak mengerti: Di manakah hati?
Sudah jauh dan mengaburkan arti: Mungkin kita enggan berbagi
tanpa ria
tanpa sapa
Sekali lagi:
Di manakah hati?

Prabumulih, September 2008

Tentang Blang Bintang

Sutan Iwan Soekri Munaf

Tentang Blang Bintang

Adalah gerbang
tempat mimpi terbang
tempat rindu datang
Blang Bintang
Kusapa rindu
dari balik kalbu
Kucabik sepi
dari dalam hati
Ku ingin datang
dan kembali memuja bayang
tentang rindu yang menggelepar
untuk menabur kisah yang jembar!
Blang Bintang
Adalah gerbang
tempat kisah mendatang!
2008

Tentang Banda Aceh

Sutan Iwan Soekri Munaf
Tentang Banda Aceh

Begitu waktu memaku dalam berita panjang
tak ada lagi bekas sepi yang tertinggal
selain rindu pada pantai yang lengang
Di sini ada seribu kisah terdedah. Dan seribu bayang
dari yang menangkap detik dan jam ke ujung tanggal
sekejap minggu menghalau bulan menuju tahun: Hilang!
Ada lagikah kata yang bisa kita pajang
setelah hasrat pun surut ke balik rindu? Kalimat
bukan lagi harapan setelah beribu mayat
kembali menghampar
sebagaimana kisah perang panjang: Barangkali
tak ada lagi Cut Nyak Dien atau Teuku Umar
yang selalu menatap waktu penuh nyali!
Sesekali ingin waktu kembali
menyambangi kata yang tersisa di sudut hati
Di sini
kembali sepi menjerat mimpi!
Mimpi yang tak pernah kembali
walau sekali!

2008

Sajak Ramadhan

Sajak Ramadhan

Hampir waktu. Mampirlah dulu
Dahaga bukan hanya kata-kata
dan rindu padaMu makin menggebu
seperti setiap detik menjadi bara
untuk merapat
dengan seluruh hayat
Di sini tak ada cermin sejarah
dan segala noda ingin segera pupus sudah!
Aku ingin kembali padaMu
merapat dalam pelukMu
menapaki berahi nurani
setelah sekian ribu hari terbuang tak berarti

Ya. Dalam lapar kata-kata
waktu telah membakar rindu
padaMu
menjadi jelaga!

Dan mentari melangkah ke senja hari
Cahaya mata menantang waktu: Sedikit lagi
aku bisa penuhi
sisa waktu. Ya, aku kembali!

Bisakah?
Prabumulih, September 2008

Sajak Menunggu Sahur

Sajak Menunggu Sahur

Menipu waktu sambil membagi diri
dengan kata tanpa makna. Nyata
perjalanan detik membatu dalam kalbu
dan bayang-bayang semakin lari dari asa
sedangkan tubuh perlahan luruh. Bisu
hari mencekam wajah. Pasi!
Di sini aku berkaca
membaca suka dalam duka!
Mana lagi huruf-huruf yang dapat dirangkai
dari balik rindu berminggu-minggu?
Kembali aku mengeja dari alif hingga ya
pada setiap kedatangan windu yang menggebu
dan mata selalu membara mencari cahaya
Mu walau aku kaku. Membangkai
Sungguh! Aku dan waktu
ingin duduk bersimpuh
menyerahkan segala nafsu
hanya pada Mu. Ya Allah!

Prabumulih, September 2008

Sajak Menjelang Lebaran

Sajak Menjelang Lebaran

Dalam cinta membiru kubaca namaMu
berulang-ulang. Padahal langkah waktu
sudah menjauh. Aku belum lagi lepas rindu
dan kata hanya berupa huruf-huruf. Berlari
kian kemari, hingga tiba senja melingkari hari.
Dahaga pun semakin tak berarti. Berjam-jam
hanya menunggu waktu. Menunggu minggu
yang datang dan pergi. Tak pernah lagi beku
seperti harapan yang kembali menghujam!
Barangkali waktu yang ditemani sepi
semakin menjauh bersembunyi ke bilik hati
dan kalimat semakin rindu membaca namaMu. Kembali!

Seluruh langkah waktu
membeku dalam sejarah
terdedah
membatu

Dalam cinta membiru
ingin kuhapus dengan kedua tangan ini
segala alpa selalu menggoda waktu
dan terhempas ke pelimbahan noda. Diri!

Sekali lagi : Aku menyerah!


Prabumulih, September 2008

Sajak Kepada Eros Djarot

Sajak Kepada Eros Djarot

Ada lagikah waktu untuk tidak membatu
dari seluruh kata yang menghambur ke setiap dinding? Mungkin
perjalanan sejarah membenturkan rindu ke dalam kalbu
dan kalimat tersayat-sayat ke ujung hayat. Makin
detik melirik, makin hasrat mendudu.
Hari bergerak menangkap minggu
dan minggu berlari saat kata menjerat bulan.
Masih adakah kalbu menjelang malam-malam memabukkan?
Bukan lagi bermain dalam layar sendu
sambil mencari kalimat sehat yang melahirkan
kerinduan untuk menatap waktu. Membeku
dalam lemari es cinta. Kapan
waktu dan kata berjalan seirama tanpa kepalsuan?

Prabumulih, September 2008

Pertemuan Siang Hari

Sutan Iwan Soekri Munaf

Pertemuan Siang Hari

Mentari. Kata membakar hari
dan mata kita bertemu dalam percakapan sangsi
seperti hembusan angin di antara garangnya kalimat
pada setiap pertemuan. Semua selalu menghambat
perjalanan. Tidak ada lagi canda di meja, selain mangkuk teh dingin
yang telah menghanguskan huruf-huruf dari mulut. Sungguh!
Waktu pun tak berarti. Kita hanya ingin
menatap bayang-bayang. Tak pernah lagi dengan sepenuh
hati menyampaikan pesan.
Tanah rengkah adalah kata yang terbakar
setelah seribu rindu hangus dalam timbunan
dan kalimat semakin tak berarti. Semakin liar
percakapan tengah hari.
Ingin saja awan menggantung di antara mentari
dan sebaris gerimis kata keluar memadamkan peri
dan kita duduk saling berbagi

Barangkali ini hanya mimpi!

Palembang 2009

Membeku

Sutan Iwan Soekri Munaf
Membeku

Waktu yang dulu
mengalir deras dari puncak hatimu
menuju lembah cintaku,
membasahi setiap pohon-pohon hasratku
dan menyuburkan lahan rindu padamu.
Kini semua hanya mimpi
di siang hari.
Waktu membeku di ujung kata-kata.
Kau pun berpaling dan pergi.
Aku hanya bisa membaca kembali
kisah rindu yang tercatat dalam waktu.
Tak ada kalimat yang bisa
menguraikan setiap langkah menjadi berharga.
Pada huruf-huruf terangkai dan kata-kata
tersusun, dalam kalimat yang membentuk frasa cinta
padamu. Kini semua menjadi wacana.
Apakah kau masih mau menyapa pada waktuku?
Senja pun jatuh ke haribaanmu.
Senja yang beku telah merekam kisah pagi
yang mengaliri perjalanan cinta padamu.
Semua membeku dalam kenangan tak pernah henti
dan mengalir menuju titik akhir. Mati

Prabumulih, Januari 2008

Dermaga, Jembatan Ampera

Sutan Iwan Soekri Munaf

Dermaga, Jembatan Ampera

Malam. Kemerlip lampu dari jembatan seperti perempuan-perempuan persinggahan, menawarkan sedikit cahaya berahi lewat kosmetik seadanya. Jangan cerita asli, selain ikan belida yang berenang di dasar sungai musi. Dan kelam bersama kemerlip malam menggantang rindu untuk menyeberang, kembali ke rumah.
Bersama angin, waktu menjemput setiap rindu. Aroma anyir yang sampai pun tumpah ke dalam sungai, setelah lirikan bola mata menawarkan persinggahan dalam secangkir teh. Aku tak tahu ke mana langkah akan bertahan. Malam ini jaring-jaring sesat telah menjala sepi yang menyibak dari dalam sungai ini. Barangkali sangsi semakin menjadi-jadi, karena bau tubuhku tercemar parfum murah.
Ya, waktu telah menjeratku di dermaga!

Di Depan Bulan Di Tepi Saguling

Di Depan Bulan Di Tepi Saguling

Angin bergerak ke daun-daun
mengarak musim bertahun-tahun
Di sini
air menangkap pantul kilat malam hari
sambut sepi yang jatuh ke dalam danau
Ke mari
rasakan kata-kata yang meluncur sendiri
menyibak riak hidup. Semua. Galau!
Embun turun basahi udara
Waktu. Titian tak pernah henti
bagi orang dalam perahu. Dalam topi lebarnya
menunggu. Siapa tahu dapat ikan besar?
Nasib. Semua orang boleh saja gusar
kalau permainan kayuh semakin tidak menentu lagi
Diam.
biarkan air dan angin berkaca di depan bulan
dan kita nikmati dari tepi Saguling
Bandung 1988

Sutan Iwan Soekri Munaf : Rumah Tua

Rumah Tua

Kerinduan akan suara nenek menceracau. Kembali
menyulam di kursi goyang. Sekali-kali lepaskan tatap
lewat kacamata yang melorot. Kali ini semua jadi bangsi
memanggil-manggil. Aku lindap
Jauh. Keterasingan dinding tembok bisu. Sepi
begini mencari kembali rumah tua. Tak juga dapat
Kembali ke kota kelahiran. Menjenguk isi hati
berkaca dalam bolamata nenek. Dan berangin-angin
sambil melagukan kisahku. Semua jadi lekat. Semua
Masuk ke dalam. Melangkah ke tempatan rindu
Semua belum berobah. Kecuali nenek tidur dengan tenang
di samping halaman. Bernisankan batu sunyi. Batu kali
Semua tak lagi bicara apa-apa. Sepi
seribu kali lebih terasa malam ini
Bandung 1987

Sutan Iwan Soekri Munaf : Malinkundang

Sutan Iwan Soekri Munaf
Malinkundang
Dalam gelombang zaman, aku datang
meniti masa mabuk di antara bayang-bayang. Tinggalkan malam kelam dan sambut pagi cerlang dengan mentari
garang membakar setiap hati yang bimbang.

Sudah kujalani rentang malam dalam dengus nafas hitam.
Sudah kurasakan jalan panjang dengan hati remuk redam
Sudah terbentang ribuan kali rindu yang terpendam. Hati tak pernah diam

Begitu rantau jadi tanahku
Begitu rindu aku ingin kembali.
Makin jauh langkah. Makin bisu.
Aku kehilangan kendali
Kali ini aku ingin bicara denganMu
dari hati ke hati. Mengapa sangsi
selalu tercipta ketika nurani menatap hati?

Seribunda digjaya telah Kau beri
Tinggalkan masa kelam selusuri kubang pilu
dan kini melangkah dengan dagu
diangkat ke atas. Tinggalkan masa-masa lapar, dahaga dan papa dan kini
sarapan di Le Meridien, makan siang di Tunglok dan santap malam di
Mandarin. Tinggalkan tidur dengan mimpi-mimpi panjang dan kini
dunia di atas telapak tangan
Seribunda digjaya telah Kau beri
Aku makin asing sendiri

Kalau pun Kau angkat aku dari kubang sampah menjadi bangsawan, menjadi konglomerat yang dulu menggoda mimpi dalam setiap tidur panjang.
Kalau Kau sandingkan aku dengan Madonna yang dimimpikan semiliar laki-laki di
jagat ini, dibanding dulu, Siti Rahmah --bunga desaku-- tak sedikit pun melirik sebelah mata padaku.
Kalau Kau beri aku Baby Benz yang melaju tenang di jalan tol sedangkan dulu kaki lepuh terus berjalan mengembara ke ujung rantau.
Nyaris semua telah Kau beri. Namun diriMu. Kau simpan jauh-jauh. Jauh

Akulah Malinkundang zaman
Ingin merentak dendam ketakberdayaan. Setelah berhasil melepas rantai yang mengekang ratusan tahun. Setelah puluhan tahun dininabobokan barang rongsokkan Jepang. Sedang di depan menghadang ribuan kembara alang kepalang. Langkah dalam denyut informasi. Jalan panjang pasar global menghentak-hentak. Akankah aku melaju dalam jalanMu?
Aku yang kehilangan Bapak dan dibesarkan Ibunda dalam papa. Aku yang besar dalam belaian ombak dukana.
Akulah Malinkundang itu yang minta izin Ibunda pergi tinggalkan tanah mencari rantau membangun mimpi dari hari ke hari.
Akulah Malinkundang itu yang membangun negeri namun kehilangan diri
Ibunda, aku rindu tanahku!

Kalau hari ini aku kembali
dengan pesawat jet pribadi dan Madonna menjadi menantumu dan Michael Jackson mendendangkanmu dan seribu remaja mabuk ecstasy sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dalam pesta kembalinya anakmu dan mendengarkan 'house music' melangla. Aku tetap anakmu.
Kalau hari ini aku kibarkan kutang kucalmu yang pernah kusibak saat menyusu dulu dan sejuta manusia perlahan mengangkat tangan dan memberi hormat, Semua adalah milikmu.
Seperti peluru yang siap menerjang, aku datang, Ibunda, aku datang dan semakin dekat. Semakin mendekat

Akulah Malinkundang itu
yang harus menjinakkan kata dalam kalimat panjang meredam luka yang makin meruyak Akulah Malinkundang itu
yang harus berlayar dalam fikir dan rasa melupakan cinta yang boyak.
Akulah Malinkundang itu yang kehilangan perempuan saat mendekapnya dan mencium jalan-jalan. Lengang
Ibunda, dengarlah, Ibunda.
Setelah kutinggalkan kampung halaman berikut dukananya. Kutimba jalan dalam sejarah diri. Kubakar jiwa membenamkan papa. Kusingkap hidup. Kusongsong hari demi hari dengan dada busung bukan terbenam di 'fitness center'. Kuraba sepi yang limbung. Aku terseok-seok di kaki lima sambil menjaja barang yang ada di antara razia dan perburuan Tramtib yang suka menggoda kaum jelata dan menunggu kesempatan hidup naiknya roda. Ingin kurasakan luka panjang ini nanti, saat derai tawa membahana. Dari waktu ke waktu dan menyisihkan laba demi laba serta berani menerima risiko lebih tinggi. Aku meniti tangga. Perjalanan memang bukan sebentar seperti lautan luas mendekap sang kapal layar dipermainkan ombak dan angin dipermainkan kehendak dan ingin.

Akulah Malinkundang itu
yang masuk bangku perguruan tinggi sambil berdagang kaki lima mempertaruhkan ijazah untuk memutar roda zaman
Akulah Malinkundang itu yang terlunta-lunta dari kantor ke kantor merasakan realitas: Tiada berarti selembar ijazah yang kupertaruhkan. Menjadi kuli kantor tak pernah bisa kurasakan agar dapat merobah hidup tinggalkan papa.
Akulah Malinkundang itu
yang bergelut dengan keringat dan airmata menaklukan ibukota dan segala permasalahannya untuk membangun istana rindu bagimu, Ibunda!

Kalau malam ini, Malinkundangmu terdampar di Hardrock Café. Percayalah, tidak akan pernah kujamah ecstasy yang tak pernah kau mengerti
namun semangat dan jiwaku terus mengembara entah ke mana. Tak berhenti.
Kalau malam ini, Malinkundangmu tampak di layar TV dan seribu wartawan bertanya ini-itu sambil sebarkan gossip. Percayalah, Malinkundang itu anakmu.

Bagaimana kalau malam ini kita duduk bersama di pinggir kolam Hotel Horison sambil menikmati 'seafood' dan cerita panjang tentang pasar bebas. Kita bisa tukar pikiran bagaimana meninggalkan industri tekstil yang penuh barikade kuota ekspor dan masuk ke dalam jantung computer. Boleh saja percaya Naisbitt atau kembali ke para normal Jayabaya dan orang-orang Jawa setiap hari membangun mimpi dengan mimpi dan mimpi-mimpi
Percayalah, Malinkundangmu akan kembali...

Akulah Malinkundang zaman
bukan lagi pakai jeans belel dengan T-shirt kucal dan mengendalikan Hardtop tapi pakai tuxedo dengan sepatu Bally mengkilap dan turun dari Roll Royce.
Akulah Malinkundang zaman
yang berani melepas sebagian saham perusahaan ke pasar modal dan memainkan dana demi dana untuk melahirkan dana dan dana lagi.
Akulah Malinkundang zaman
yang berfikir dengan prospek dan mencium setiap gerak langkah keadaan sambil mengolahragakan jantung setiap waktu berdetak memacu atau tenang-tenang saja sambil menghirup nafas lega karena cinta pada kehidupan bukan pada perjudian.
Akulah Malinkundang zaman
yang berladang di berbagai sektor disebut-sebut sebagai diversifikasi dengan seribu eksekutif muda bernaung di dalamnya dan kesempatan cuma sekali datang
selebihnya mimpi gelap yang tak pernah sudah. Jadi, ambil dan menang atau kalah sudah biasa dalam pertarungan

Saat semua sudah di tangan
Kini aku pulang. Setelah gelombang datang dan berenang di antara debur ombak kemudian pergi menghilang.
Saat semua sudah di tangan.
Kini aku pulang karena berjalan bukan sekadar di padang perburuan. Cuma ingin kuburkan rindu yang terbakar.
Saat semua sudah di tangan. Kini aku pulang
Ibunda!

Jakarta, Juni 2009

sajak ingat eva

Sutan Iwan Soekri Munaf
sajak ingat eva

dalam ritma malam mencumbu waktu, ada kata
tersimpan dalam senyummu.
kubaca
rindu lelaki dalam remangnya sepi.
kuhela kereta sepi
yang melintas dalam hangat nafasmu

palembang feb 2007

Sutan Iwan Soekri Munaf: Menjadi Pemimpi

Sutan Iwan Soekri Munaf

Menjadi Pemimpi

Sebagaimana merindu pagi, setiap kata mengeja cahaya pada malam: Gelita!
Sebaris pun tak ada tanda baca yang terpantul pada detik demi detik melepas larut. Di sana
setiap kata berbaris teratur mencapai posisi kalimat: Memberi waktu
kembali untuk bercerita tentang kabut yang turun di situ

“Biarlah, saat menit-menit terakhir tiba bersama udara lembab pada dini hari
aku menunggu di sini!”

Dan di penghujung malam, ada kata membelah makna
yang meluncur cepat menuju jantungku: Kami mengawali
sepi dari malam yang terbagi. Di mana-mana
kelam dan cahaya menjadi mimpi. Huruf-huruf pemimpi!

“Aku tak mengerti
semakin waktu semakin rindu menyisi!”

“Ya, semalaman kami berbagi tidur
setelah bermalam-malam kami kerja lembur,”
tutur sebagian huruf yang enggan membangun kata

“Ya, setelah bermalam-malam kami tidur
tidak ada lagi mimpi yang mampir,”
tutur sebagian huruf yang enggan membangun makna

Kini, malam tinggal semalam
dan pagi sudah menanti
engkau masih saja diam
di antara huruf-huruf yang berantakan: Masih mengatur mimpi?

Palembang, Juni 2009

Memakan Sepi

Sutan Iwan Soekri Munaf

Memakan Sepi

Setelah waktu memakan sepiku di antara bayang-bayang semangkok huruf dan segelas makna yang terhampar di meja hidupku. Kini, waktu – lewat anak-anaknya: detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun – menghisap sisa rindu yang mengalir deras dalam darahku. Mereka telah mengunyah-lumat seluruh langkah untuk kembali padamu.

Di meja ini, tak ada lagi perjamuan: Detik berdiri dari kursinya dan bergegas menampar lengangku yang datang berulang. Menit menangkap, lalu membanting penungguanku yang sia-sia. Jam menghujamkan kegetiran pada setiap tanda-tanda. Hari memberangus mimpi dan membenamkan hidupku dalam lubang kenyataan. Minggu membelenggu keinginan menapak ke bukit-bukit. Bulan membiarkan hiruk-pikuk dan buncah-kerak dalam setiap langkah yang kulewati. Tahun tak pernah lagi memberikan kado, karena rindu sudah terbelah-belah.

Dan sepi adalah es krim yang meleleh. Aku hanya menonton dengan air liur yang dikulum. Tanpa berbuat apa-apa. Waktu memakan sepiku!

Palembang Juni 2009

Barangkali Engkau Mengerti

Barangkali Engkau Mengerti

Hasrat tak terkatakan untuk mendekatimu
dan jarak semakin tak menentu
karena kata selalu melangkahkan rindu.
Sementara sepi mengendap jauh ke dalam kalbu,
waktu berlari meninggalkanku!

Adakah engkau menunggu
dalam langkah rindu seorang tualang?
Adakah waktu memburu
kalbumu yang mengendap ke dalam baying-bayang?
Aku masih mencari-carimu!

Lihatlah, hasrat tak lagi menunggu
langkah rindu yang tak menentu,
sedang kata menjadi lagu kalbu
untuk mendekatimu!
Sepi menjadi mainanku!

Bekasi, Maret 2010

Di Balik Jendela

Di Balik Jendela

Orang berdua di balik subuh mandi siraman cahya mentari pagi
Ketika jalanan masih lengang dan gigitan dingin mendera sumsum
Orang berdua menjala waktu
Sehabis rona merah sepinggir langit perak
kita habiskan sisa mabuk menembus kelam
Lepaskan keasingan diri dalam cengkraman sumbu bumi.
Hampa
Sehabis kata-kata lepas tanpa suara
Orang berdua duduk menunggu di balik jendela
Kita menatap waktu

Bandung 1987

Sutan Iwan Soekri Munaf: Setelah Ketemu Arie Kusmiran

Setelah Ketemu Arie Kusmiran
-soneta yang tak jadi
Prisma sepi mengantarkan cahaya jiwa
setelah memantulkan bayang-bayangmu
dan mata pun tergoda mendengar nada
yang bergelombang menghampiri rindu
Aku ingin berlari mencarimu
yang bersembunyi di balik pintu: Waktu
bergerak: Hati pun terjebak!
Prisma kata menghamburkan gelisah
dan pelangi bisu masih terdengar di ujung lagu
Hasrat pun bergemuruh. Siapa yang resah?
Suaramu masih bergetar dan aku ragu
di antara kelebat rindu
yang menegur: Waktu
berdetak: Aku tersentak....
Januari 1981-Juli 2001

iwan soekri dan karyanya

Sutan Iwan Soekri Munaf alias drs Sutan Roedy Irawan Syafrullah, lahir di Medan, 4 Desember 1957. Tulisan perdananya dimuat di ruang anak Harian Kompas edisi 3 Juli 1971, bertepatan dengan PEMILU ke 2 di republik ini. Kemudian sajaknya dipublikasikan di Koran Bandung, Pikiran Rakyat, Harian Mandala, Harian Gala dan Harian Bandung Pos. Juga dimuat di Harian Haluan, Harian Singgalang dan Harian Semangat yang terbut di Padang. Tulusannya dimuat juga di Aceh Pos, Peristiwa, Harian Analisa, Surabaya Pos, Bali Pos, Suara Karya, Yudha Minggu, Sport Dan Film, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Republika, Berita Buana. Cerpennya dimuat juga di Majalah Q, Zaman, Hai, Puteri Indonesia, Gadis, Kartini dan Anita Cemerlang. Tentu saja, karyanya pernah dimuat di majalah Horison.
Kumpulan puisinya berjudul Obsesi, diterbitkan PT Angkasa, Bandung, 1985. Juga sejumlah antologi puisi bersama di Bandung, Jakarta, Padang, Aceh.
Kumpulan cerita bersama Adi Hidayat dan Zulfa Basir berjudul Tiga Menakbir Mimpi, riwayat hidup Marzuki Usman, diterbitkan Balai Pustaka, 1999.
Beberapa novel anak-anak telah terbit.
Novel Rahasia Seorang Kawan telah dijadikan cerita bersambung di Sinar Harapan edisi Desember 2003 s/d Januari 2004. Juga novel Solar Palsu jadi cerita bersambung di Sinar Harapan edisi Desember 2005 s/d Peb 2006.
Pada 1981 diundang GAPENA mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara dan Hari Puisi di Kem Kijang, Kota Bahru, Kelantan, Malaysia.
Pada 1999, mengikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara di Johor Bahru, Malaysia.
Pada 1987 diundang Dewan Kesenian Jakarta keTIM pada Pertemuan Penyair.
Pada Agustus 2003 s/d September 2003, diundang secara pribadi ole seorang kawannya untuk menulis di Milhac de Aubroche, sebuah kota kecil di Prancis.
September 2007 berhasil menjadi juara 1 sayembara penulisan esai sastra yang dimuat di Koran lokal se Sumatera Selatan.
Pernah menjadi wartawan Harian Gala (1985) di Bandung, Harian Pagi Priorotas (1986-1987) di perwakilan Bandung, Harian Terbit (1988) perwakilan di Bandung, Harian Bisnis Indonesia (1989 Jan-Peb), Harian Media Indonesia (1989), SKM Atjeh Post dan SKM Peristiwa (1989-1990), Majalah anita Cemerlang (1990-1992), Harian Ekonomi Neraca (1992-1994), Harian Analisa (1994-1997) perwakilan di Jakarta, Harian Jakarta (2003-2004), Harian Peta News (2004).
Aktivis Yayasan MultiMedia Sastra (YMS), yaitu LSM dunia maya untuk sastra.
Kini tinggal di Prabumulih, Sumatera Selatan.