Sutan Iwan Soekri Munaf
Malinkundang
Dalam gelombang zaman, aku datang
meniti masa mabuk di antara bayang-bayang. Tinggalkan malam kelam dan sambut pagi cerlang dengan mentari
garang membakar setiap hati yang bimbang.
Sudah kujalani rentang malam dalam dengus nafas hitam.
Sudah kurasakan jalan panjang dengan hati remuk redam
Sudah terbentang ribuan kali rindu yang terpendam. Hati tak pernah diam
Begitu rantau jadi tanahku
Begitu rindu aku ingin kembali.
Makin jauh langkah. Makin bisu.
Aku kehilangan kendali
Kali ini aku ingin bicara denganMu
dari hati ke hati. Mengapa sangsi
selalu tercipta ketika nurani menatap hati?
Seribunda digjaya telah Kau beri
Tinggalkan masa kelam selusuri kubang pilu
dan kini melangkah dengan dagu
diangkat ke atas. Tinggalkan masa-masa lapar, dahaga dan papa dan kini
sarapan di Le Meridien, makan siang di Tunglok dan santap malam di
Mandarin. Tinggalkan tidur dengan mimpi-mimpi panjang dan kini
dunia di atas telapak tangan
Seribunda digjaya telah Kau beri
Aku makin asing sendiri
Kalau pun Kau angkat aku dari kubang sampah menjadi bangsawan, menjadi konglomerat yang dulu menggoda mimpi dalam setiap tidur panjang.
Kalau Kau sandingkan aku dengan Madonna yang dimimpikan semiliar laki-laki di
jagat ini, dibanding dulu, Siti Rahmah --bunga desaku-- tak sedikit pun melirik sebelah mata padaku.
Kalau Kau beri aku Baby Benz yang melaju tenang di jalan tol sedangkan dulu kaki lepuh terus berjalan mengembara ke ujung rantau.
Nyaris semua telah Kau beri. Namun diriMu. Kau simpan jauh-jauh. Jauh
Akulah Malinkundang zaman
Ingin merentak dendam ketakberdayaan. Setelah berhasil melepas rantai yang mengekang ratusan tahun. Setelah puluhan tahun dininabobokan barang rongsokkan Jepang. Sedang di depan menghadang ribuan kembara alang kepalang. Langkah dalam denyut informasi. Jalan panjang pasar global menghentak-hentak. Akankah aku melaju dalam jalanMu?
Aku yang kehilangan Bapak dan dibesarkan Ibunda dalam papa. Aku yang besar dalam belaian ombak dukana.
Akulah Malinkundang itu yang minta izin Ibunda pergi tinggalkan tanah mencari rantau membangun mimpi dari hari ke hari.
Akulah Malinkundang itu yang membangun negeri namun kehilangan diri
Ibunda, aku rindu tanahku!
Kalau hari ini aku kembali
dengan pesawat jet pribadi dan Madonna menjadi menantumu dan Michael Jackson mendendangkanmu dan seribu remaja mabuk ecstasy sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dalam pesta kembalinya anakmu dan mendengarkan 'house music' melangla. Aku tetap anakmu.
Kalau hari ini aku kibarkan kutang kucalmu yang pernah kusibak saat menyusu dulu dan sejuta manusia perlahan mengangkat tangan dan memberi hormat, Semua adalah milikmu.
Seperti peluru yang siap menerjang, aku datang, Ibunda, aku datang dan semakin dekat. Semakin mendekat
Akulah Malinkundang itu
yang harus menjinakkan kata dalam kalimat panjang meredam luka yang makin meruyak Akulah Malinkundang itu
yang harus berlayar dalam fikir dan rasa melupakan cinta yang boyak.
Akulah Malinkundang itu yang kehilangan perempuan saat mendekapnya dan mencium jalan-jalan. Lengang
Ibunda, dengarlah, Ibunda.
Setelah kutinggalkan kampung halaman berikut dukananya. Kutimba jalan dalam sejarah diri. Kubakar jiwa membenamkan papa. Kusingkap hidup. Kusongsong hari demi hari dengan dada busung bukan terbenam di 'fitness center'. Kuraba sepi yang limbung. Aku terseok-seok di kaki lima sambil menjaja barang yang ada di antara razia dan perburuan Tramtib yang suka menggoda kaum jelata dan menunggu kesempatan hidup naiknya roda. Ingin kurasakan luka panjang ini nanti, saat derai tawa membahana. Dari waktu ke waktu dan menyisihkan laba demi laba serta berani menerima risiko lebih tinggi. Aku meniti tangga. Perjalanan memang bukan sebentar seperti lautan luas mendekap sang kapal layar dipermainkan ombak dan angin dipermainkan kehendak dan ingin.
Akulah Malinkundang itu
yang masuk bangku perguruan tinggi sambil berdagang kaki lima mempertaruhkan ijazah untuk memutar roda zaman
Akulah Malinkundang itu yang terlunta-lunta dari kantor ke kantor merasakan realitas: Tiada berarti selembar ijazah yang kupertaruhkan. Menjadi kuli kantor tak pernah bisa kurasakan agar dapat merobah hidup tinggalkan papa.
Akulah Malinkundang itu
yang bergelut dengan keringat dan airmata menaklukan ibukota dan segala permasalahannya untuk membangun istana rindu bagimu, Ibunda!
Kalau malam ini, Malinkundangmu terdampar di Hardrock Café. Percayalah, tidak akan pernah kujamah ecstasy yang tak pernah kau mengerti
namun semangat dan jiwaku terus mengembara entah ke mana. Tak berhenti.
Kalau malam ini, Malinkundangmu tampak di layar TV dan seribu wartawan bertanya ini-itu sambil sebarkan gossip. Percayalah, Malinkundang itu anakmu.
Bagaimana kalau malam ini kita duduk bersama di pinggir kolam Hotel Horison sambil menikmati 'seafood' dan cerita panjang tentang pasar bebas. Kita bisa tukar pikiran bagaimana meninggalkan industri tekstil yang penuh barikade kuota ekspor dan masuk ke dalam jantung computer. Boleh saja percaya Naisbitt atau kembali ke para normal Jayabaya dan orang-orang Jawa setiap hari membangun mimpi dengan mimpi dan mimpi-mimpi
Percayalah, Malinkundangmu akan kembali...
Akulah Malinkundang zaman
bukan lagi pakai jeans belel dengan T-shirt kucal dan mengendalikan Hardtop tapi pakai tuxedo dengan sepatu Bally mengkilap dan turun dari Roll Royce.
Akulah Malinkundang zaman
yang berani melepas sebagian saham perusahaan ke pasar modal dan memainkan dana demi dana untuk melahirkan dana dan dana lagi.
Akulah Malinkundang zaman
yang berfikir dengan prospek dan mencium setiap gerak langkah keadaan sambil mengolahragakan jantung setiap waktu berdetak memacu atau tenang-tenang saja sambil menghirup nafas lega karena cinta pada kehidupan bukan pada perjudian.
Akulah Malinkundang zaman
yang berladang di berbagai sektor disebut-sebut sebagai diversifikasi dengan seribu eksekutif muda bernaung di dalamnya dan kesempatan cuma sekali datang
selebihnya mimpi gelap yang tak pernah sudah. Jadi, ambil dan menang atau kalah sudah biasa dalam pertarungan
Saat semua sudah di tangan
Kini aku pulang. Setelah gelombang datang dan berenang di antara debur ombak kemudian pergi menghilang.
Saat semua sudah di tangan.
Kini aku pulang karena berjalan bukan sekadar di padang perburuan. Cuma ingin kuburkan rindu yang terbakar.
Saat semua sudah di tangan. Kini aku pulang
Ibunda!
Jakarta, Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar