Sutan Iwan Soekri Munaf
Menjadi Pemimpi
Sebagaimana merindu pagi, setiap kata mengeja cahaya pada malam: Gelita!
Sebaris pun tak ada tanda baca yang terpantul pada detik demi detik melepas larut. Di sana
setiap kata berbaris teratur mencapai posisi kalimat: Memberi waktu
kembali untuk bercerita tentang kabut yang turun di situ
“Biarlah, saat menit-menit terakhir tiba bersama udara lembab pada dini hari
aku menunggu di sini!”
Dan di penghujung malam, ada kata membelah makna
yang meluncur cepat menuju jantungku: Kami mengawali
sepi dari malam yang terbagi. Di mana-mana
kelam dan cahaya menjadi mimpi. Huruf-huruf pemimpi!
“Aku tak mengerti
semakin waktu semakin rindu menyisi!”
“Ya, semalaman kami berbagi tidur
setelah bermalam-malam kami kerja lembur,”
tutur sebagian huruf yang enggan membangun kata
“Ya, setelah bermalam-malam kami tidur
tidak ada lagi mimpi yang mampir,”
tutur sebagian huruf yang enggan membangun makna
Kini, malam tinggal semalam
dan pagi sudah menanti
engkau masih saja diam
di antara huruf-huruf yang berantakan: Masih mengatur mimpi?
Palembang, Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar